PENIPUAN MELALUI DUNIA MAYA, DAPAT KAH DI UNGKAP ?
Di zaman sekarang ini banyak orang yang berbisnis, berdagang via
online (
Facebook, Twitter, dll.). Kalau seandainya ada kasus penipuan,
contoh: sudah sepakat untuk transaksi, begitu uang ditransfer ke
rekening tertentu, tetapi barang tidak dikirim, diberikan, bisakah
penjual barang tersebut dipidana? Bagaimana caranya? Apa dasar hukumnya?
Jawabannya, BISA. Langkah pertama, Anda melaporkannya
kepada Aparat Penegak Hukum disertai bukti awal berupa
data/informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya. Jika kasus tersebut
ditindaklanjuti oleh Pihak Kepolisian dalam sebuah proses penyelidikan/penyidikan,
maka Penyidik pada Unit Cyber Crime akan menelusuri sumber dokumen elektronik tersebut. Dalam
praktiknya, biasanya pertama-tama penyidik akan melacak keberadaan pelaku
dengan menelusuri alamat Internet Protocol (“IP Address”) pelaku berdasarkan log IP Address yang tersimpan dalam server pengelola web site/homepage yang dijadikan sarana pelaku dalam melakukan penipuan.
Permasalahannya adalah, penyidik akan menemui kesulitan jika web site/homepage
tersebut pemiliknya berada di luar wilayah yurisdiksi Indonesia
(seperti facebook, google, twitter, yahoo, dll.). Meskipun saat ini APH
(polisi maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS Kementerian Komunikasi
dan Informatika) telah bekerja sama dengan beberapa pengelola website/homepage di luar wilayah Indonesia, dalam praktiknya tidak mudah untuk mendapatkan IP address seorang pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dengan menggunakan layanan web site/homepage
tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan prosedur hukum
antar-negara. Meskipun pemerintah antar-negara melalui aparat penegak
hukumnya telah membuat perjanjian Mutual Legal Asistance
(“MLA”) atau perjanjian bantuan hukum timbal balik, pada kenyataannya
MLA tidak serta merta berlaku dalam setiap kasus yang melibatkan
antar-negara. Permasalahan yurisdiksi inilah yang seringkali menjadi
penyebab tidak dapat diprosesnya atau tertundanya
penyelidikan/penyidikan kasus-kasus cyber crime.
Perlu diingat juga, bahwa dalam banyak kasus, meskipun penyidik telah berhasil melacak sebuah IP address
terduga pelaku, tidak mudah begitu saja mengetahui identitas dan posisi
pelaku. Dengan banyak teknik canggih, pelaku bisa dengan mudah
menyamarkan alamat Internet Protocol, memalsukan alamat Internet Protocol, atau bahkan mengecoh penyidik dan korban dengan cara menggunakan alamat Internet Protocol yang berasal dari luar negeri.
Apabila identitas penjual/pembeli yang diduga
melakukan penipuan telah diketahui, langkah penyidik selanjutnya adalah
membuktikan secara teknis perbuatan tersebut. dan penyidik akan menyita semua
Dokumen/Informasi Elektronik yang diduga terkait perbuatan tersebut guna
kepentingan penyidikan sampai dengan persidangan.
Jika kita sebagai korban, tentu kita tidak perlu
pesimis terhadap kemungkinan terungkapnya kasus tersebut, karena saat
ini sudah banyak kasus penipuan secara online yang telah berhasil diselesaikan oleh Aparat Penegak Hukum di Indonesia.
Perlakuan Hukum
Penipuan secara
online pada prinisipnya sama
dengan penipuan konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana
perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet,
perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara
online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun
dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4
tahun."
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).
Untuk pembuktiannya, penyidik bisa menggunakan bukti
elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana
Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai
dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bunyi Pasal 5 UU ITE :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime.
Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal
khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat
ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian”
yang diakibatkan perbuatan tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1)
UU ITE tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak
dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan
pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam
Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE,
dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku
penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan
ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang
lain.
Delik khusus “penipuan” dalam UU ITE, baru akan
dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Revisi UU ITE yang saat
ini dalam tahap pembahasan antar-kementerian.
Dasar hukum: